Beberapa hari yang lalu, di Twitter ada yang ngetweet guyonan ala kitab kuning yang menggunakan huruf pegon. Sontak aku tertawa sekaligus nostalgia akan masa kecilku saat menimba ilmu di Pesantren Darussholihin khususnya saat belajar membaca huruf pegon. Sebagai seorang penggemar ilmu linguistik dan budaya, aku tertarik untuk membahasnya dalam blogku kali ini. Apa itu huruf pegon?
Bagi orang-orang yang pernah
menimba ilmu di pesantren kampung, pasti tidak asing lagi dengan kitab kuning.
Kitab kuning ditulis dalam Bahasa Arab asli dengan menggunakan huruf hijaiyah
asli kemudian diartikan dengan menggunakan Bahasa Jawa yang ditulis dengan
menggunakan huruf arab pegon (huruf arab sandi). Mungkin orang awam banyak yang
tidak mengenal apa itu huruf pegon. Sederhannya huruf pegon sendiri bisa
dianalogikan seperti huruf dalam Aksara Jawa tapi versi huruf hijaiyah arab
yang sedikit ada tambahan. Kalo dalam huruf Arab asli tidak ada huruf yang
merepresentasikan alfabet G, C, J, P,
NGA dan NYA, sedangkan dalam
huruf Arab pegon ada huruf yang bisa merepresentasikan alfabet G, C, J, P, NGA dan NYA.
Aku sendiri mengenal dan mempelajari huruf pegon sejak kelas 3 SD. Ceritanya, dulu aku belajar di dua pesantren sekaligus. Sebenarnya, aku hanya belajar di Pesantren Nurun Nisa’ sejak TK, tapi ada salah satu teman bapakku di Raudhatul Jannah yang merekomendasikan aku agar belajar juga di Pesantren Darussholihin. Jadi, aku membagi waktuku jadi tiga shift. Pagi belajar di sekolah umum, sore belajar di Pesantren Darussholihin, dan malam belajar di Pesantren Nurun Nisa’. Kali ini aku akan menceritakan tentang huruf pegon dan sejarahnya yang dulu aku pelajari di Pesantren Darusholihin dulu waktu masih kecil.
Huruf Pegon mengambil namanya dari kata Pego yang berarti menyimpang, karena menggunakan abjad Arab (Hijaiyah) untuk menuliskan bahasa Jawa atau Sunda. Berbeda dengan huruf Gundul atau Gundhil, Pegon sejatinya adalah huruf konsonan sebelum digandeng dengan huruf vokal atau sandangan huruf lainnya. Penggunaan huruf vokal ini bertujuan untuk menghindari kerancuan dengan bahasa Melayu yang tidak terlalu banyak memakai kosakata vokal.
Huruf Pegon sendiri diyakini dikembangkan pada tahun 1400-an oleh Sunan Ampel, atau dalam teori lainnya dikembangkan oleh murid Sunan Ampel yaitu Imam Nawawi Al-Bantani. Yang pasti, huruf ini lahir dari kalangan pemuka agama Islam dan diajarkan secara umum di pesantren-pesantren selama masa penjajahan Kolonial Belanda. Pada masa itu, muncul fatwa yang menolak untuk menggunakan produk-produk penjajah (Belanda), termasuk tulisan mereka. Maka kalangan ini menggunakan Pegon sebagai simbol perlawanan, juga sebagai bahasa sandi untuk mengelabuhi penjajah (Belanda) pada saat berkomunikasi dengan sesama anggota pesantren dan juga beberapa pahlawan Nasional yang berasal dari golongan santri. Dalam manuskrip dan literatur pesantren, huruf ini juga banyak ditemukan, seperti dalam Serat (Nabi) Yusuf. Dalam ilmu sosio-linguistik, huruf pegon ini juga bisa dikatakan sebagai bahasa komunitas pesantren (speech community) karena ini juga berfungsi untuk meng-excluding penjajah dari percakapan internal kelompok. Hal ini hampir sama dengan Bahasa Walikan Malang yang sejarahnya juga digunakan oleh para pejuang kemerdekaan di Kota Malang sebagai bahasa sandi untuk mengelabuhi penjajah (Belanda).
Ketika Kemal Attaturk menggulingkan kesultanan terakhir Utsmaniyah, huruf Pegon mengalami pergeseran oleh huruf Latin dan juga huruf Romawi, dimana hal tersebut diresmikan pada tahun 1950-an di Singapura dalam sebuah kongres yang akhirnya melahirkan Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia. Saat itu, hampir semua penerbit Koran, majalah, dan buku terpaksa mengganti huruf Pegon dengan huruf Romawi, termasuk majalah At-Turats yang dikenal menggiatkan Pegon untuk semua tulisannya. Majalah ini memiliki gagasan bahwa matinya huruf Pegon adalah matinya Ulama.
Dikenal sebagai Pegon di
Nusantara, huruf ini mendapat nama Huruf Jawi di Malaysia, namun secara luas
dikenal sebagai huruf Arab Melayu karena huruf ini juga akhirnya menyebar
hingga ke Brunei, Thailand, dan Filipina. Uniknya, meski digunakan untuk
menulis kosakata Jawa, huruf ini tetap ditulis dari kanan ke kiri layaknya
penulisan Arab, dengan kaidah penyambungan yang sama.
Aku sendiri mengenal dan mempelajari huruf pegon sejak kelas 3 SD. Ceritanya, dulu aku belajar di dua pesantren sekaligus. Sebenarnya, aku hanya belajar di Pesantren Nurun Nisa’ sejak TK, tapi ada salah satu teman bapakku di Raudhatul Jannah yang merekomendasikan aku agar belajar juga di Pesantren Darussholihin. Jadi, aku membagi waktuku jadi tiga shift. Pagi belajar di sekolah umum, sore belajar di Pesantren Darussholihin, dan malam belajar di Pesantren Nurun Nisa’. Kali ini aku akan menceritakan tentang huruf pegon dan sejarahnya yang dulu aku pelajari di Pesantren Darusholihin dulu waktu masih kecil.
Huruf Pegon mengambil namanya dari kata Pego yang berarti menyimpang, karena menggunakan abjad Arab (Hijaiyah) untuk menuliskan bahasa Jawa atau Sunda. Berbeda dengan huruf Gundul atau Gundhil, Pegon sejatinya adalah huruf konsonan sebelum digandeng dengan huruf vokal atau sandangan huruf lainnya. Penggunaan huruf vokal ini bertujuan untuk menghindari kerancuan dengan bahasa Melayu yang tidak terlalu banyak memakai kosakata vokal.
Huruf Pegon sendiri diyakini dikembangkan pada tahun 1400-an oleh Sunan Ampel, atau dalam teori lainnya dikembangkan oleh murid Sunan Ampel yaitu Imam Nawawi Al-Bantani. Yang pasti, huruf ini lahir dari kalangan pemuka agama Islam dan diajarkan secara umum di pesantren-pesantren selama masa penjajahan Kolonial Belanda. Pada masa itu, muncul fatwa yang menolak untuk menggunakan produk-produk penjajah (Belanda), termasuk tulisan mereka. Maka kalangan ini menggunakan Pegon sebagai simbol perlawanan, juga sebagai bahasa sandi untuk mengelabuhi penjajah (Belanda) pada saat berkomunikasi dengan sesama anggota pesantren dan juga beberapa pahlawan Nasional yang berasal dari golongan santri. Dalam manuskrip dan literatur pesantren, huruf ini juga banyak ditemukan, seperti dalam Serat (Nabi) Yusuf. Dalam ilmu sosio-linguistik, huruf pegon ini juga bisa dikatakan sebagai bahasa komunitas pesantren (speech community) karena ini juga berfungsi untuk meng-excluding penjajah dari percakapan internal kelompok. Hal ini hampir sama dengan Bahasa Walikan Malang yang sejarahnya juga digunakan oleh para pejuang kemerdekaan di Kota Malang sebagai bahasa sandi untuk mengelabuhi penjajah (Belanda).
Ketika Kemal Attaturk menggulingkan kesultanan terakhir Utsmaniyah, huruf Pegon mengalami pergeseran oleh huruf Latin dan juga huruf Romawi, dimana hal tersebut diresmikan pada tahun 1950-an di Singapura dalam sebuah kongres yang akhirnya melahirkan Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia. Saat itu, hampir semua penerbit Koran, majalah, dan buku terpaksa mengganti huruf Pegon dengan huruf Romawi, termasuk majalah At-Turats yang dikenal menggiatkan Pegon untuk semua tulisannya. Majalah ini memiliki gagasan bahwa matinya huruf Pegon adalah matinya Ulama.
Sayang, saat ini huruf Pegon kian menghilang meski dulunya digunakan oleh berbagai lapisan masyarakat, dari kalangan kyai hingga sastrawan. Selain memang bersifat temporary (sementara), hilangnya Pegon juga karena kolonial Belanda menekan pergerakan perlawanan dari pesantren.
Meski pakem asli dari huruf Pegon tak pernah ditemukan, namun dalam beberapa buku daerah klasik dapat ditemukan huruf Pegon dengan karakter yang hampir sama satu sama lain. Dalam manuskrip Islam di Jawa kuno, huruf ini seringkali digunakan untuk menulis jenggotan, yakni terjemahan bahasa Jawa atas naskah berbahasa Arab.
Di bawah ini daftar konsonan dalam huruf Pegon, dengan penjelasan yang dilingkari kuning merupakan penyesuaian huruf Arab dan Jawa atau huruf tambahan yang tidak ada dalam huruf hijaiyah asli:
Sedangan daftar huruf vocal dalam huruf pegon bisa dilihat di bawah ini:
Huruf Pegon = (Huruf Konsonan Arab) + (Huruf Vokal Arab)
Bagaimana beda penggunaan huruf hijaiyah asli untuk Bahasa Arab dengan penggunaan huruf pegon untuk Bahasa Jawa? Begini cara penggunaannya:
Gampangnya seperti ini, saat kita ingin menulis kata “aku” dalam Bahasa Arab asli, maka kita akan menulisnya “ana”. Akan tetapi, jika kita ingin menulis “aku” sebagai “aku” dalam Bahasa Jawa dengan menggunakan huruf pegon, kita menulisnya dengan mengkombinasikan huruf:
Aku = alif + (kaf + wau)
Contoh lain, kalo kita ingin menulis kata “kamu” ke dalam Bahasa Arab asli dengan menggunakan huruf hijaiyah, maka kita menulisnya “anta”. Akan tetapi, jika kita ingin menulis kata “kamu” sebagai “kamu” dalam Bahasa Jawa menggunakan huruf pegon, maka kita menulisnya dengan cara mengkombinasikan huruf:
Kamu = (kaf + alif) + (mim + wau)
Trus bagaimana jika kita mau menulis kata “Gajah” sedangkan dalam huruf hijaiyah arab tidak terdapat huruf yang merepresentasikan alfabet G? Jangan khawatir dalam huruf pegon ada alfabet G yang direpresentasikan oleh huruf kaf yang diberi titik tiga di bawahnya. Jadi, kalo kita ingin menulis kata "Gajah" dalam versi pegon ya cukup mengkombinasikan huruf:
Gajah = (Kaf titik tiga dibawah + alif) + (Jim + alif) + (hak)
Sekarang mengertik kan cara penggunaannya. Huruf pegon ini adalah sebuah peninggalan linguistik pesantren yang sangat unik dan luar biasa jika kita melestarikannya karena huruf pegon ini ajaib bisa digunakan untuk menulis kata dalam bahasa apapun termasuk Bahasa Inggris. Contohnya gimana kalo kita ingin menulis kata “see” dalam huruf pegon, maka kita menulisnya dengan mengkombinasikan huruf:
See = (sin + ya’)
Kalo mau contoh asli modelnya seperti guyonan yang ditulis ala kitab kuning di bawah ini:
0 komentar:
Posting Komentar